Thursday, September 14, 2006

TEMBANG

Kurangkai kata untuk melukis makna yang ada di dalam hati agar tergores di bianglala sore yang penuh dengan butir-butir air mata menghiasi angkasa jiwa tanpa batas lepas bebas mengapai ujung kain panjang yang terlepas ditinggal sang kekasih melayang menembus awan-awan yang sedang berkejar-kejaran ke ufuk senja meninggalkan butiran air mata yang pelan perlahan kemudian membeku.

Masihkah cukup kata untuk menyelesaikan lukisan hidup yang tersisa sepenggalan jalan berbatu berliku turun naik dan curam disisi tebing-tebing siap menangkap daun-daun yang terlepas dari dinding-dinding tulang dada meluncur turun dengan deras seakan mencoba melawan rasa sakit ditinggal dan tetap berusaha untuk terus tegak setegaknya sementara butir air diatas daun ikut luruh bersama sang waktu.

Tembang kenangan dipukul terakhir menutup episode satu kisah yang dipancarkan dari layar tancap di kampung sebelah bukan karena hari kemerdekaan tapi hanya untuk menandai bahwa semua sudah usai dan layarpun digulung pelang untuk dibentangkan lagi dari satu tempat ke tempat lain tanpa menyadari layar telah basah oleh butir-butir embun subuh menyongsong adzan dan kemudian aku pun luruh.

Tau ga .. tembang itu kita tiada karena baterai tape recorder usang sudah tidak bertenaga lagi. Diam hening. Sebening malam ini. Sepi. Tapi aku merasa seluruh sendi hidupku kembali bergairah. Ah .. tak mengerti apa yang dikatakan, karena sudah tak cukup kata lagi untuk melukiskan hati ini.

Madiun, tengah malam, sudah setengah bulan berlalu tanpanya

No comments: